Oleh Dhiora Bintang
“Ada dua cara untuk menyebarkan cahaya: jadilah lilin yang menyebarkan cahaya, jadilah cermin yang memantulkan sinarnya“.
Ujar novelis Amerika, Edith Wharton.
Mb AHASISWA identik dengan kasta terpelajar. Karenanya, melekat eban sejarah, memikul asa bagi perubahan. Kini, riuh rendah gerakan mahasiswa terdengar nyaring. Gerak an mahasiswa 2010 disebut-sebut telah lahir. Momentum salah satu kasus besar menggiring bandul gerakan mahasiswa ke arah kiri. Confusius memberi petuahnya, “Dengan menjadi terpelajar, bentrokan antarkelas bisa lenyap“.
Namun gerakan mahasiswa belum bersatu padu. Mengapa?
Indra J Piliang, pengamat sosial politik, menyebut gerakan mahasiswa terpecah dalam isu dan posisi. “Ini karena kepentingan elite (politik) belum bersatu,“ ujarnya kepada redaksi Kawan Widyatama. Ia menyebut tiga tipologi kelompok gerakan mahasiswa ini, “Ada yang moderat, politik, dan radikal.“ Kelompok politik misalnya, tidak independen dan berafiliasi kepada kelompok tertentu. Indra berpendapat, pada dasarnya gerakan mahasiswa adalah oposisi.
“(Arahnya) dari kiri ke kanan.“
Pengamat politik Universitas Indonesia Boni Hargens senada dengan Indra. Ia berpendapat ideologi mahasiswa mulai rapuh. Boni melihat upaya penyusupan agenda politik dalam gerakan mahasiswa. “Titik temu gerakan mahasiswa, melawan ideologi neoliberalisme SBY,“ tutur Boni. Ia menyinyalir kelompok mahasiswa ini dan sempat menyebut nama dan afiliasinya kepada redaksi Kawan Widyatama.
Sementara Syamsul Ma'arief, ketua umum KAMMI Bandung, menegaskan gerakan mahasiswa haram disusupi kepentingan elite politik. “Gerakan mahasiswa tetap memegang idealisme perjuangannya, tanpa terkooptasi partai politik tertentu,“ katanya.
Tujuannya tegas, diungkap Syamsul, “Tercerdaskan otak, terkenyangkannya perut yang lapar, menjadi pengganti generasi tua yang mengacau dan mengkhianati idealisme.“
Reza, ketua lembaga pers Jumpa Universitas Pasundan, melihat hal lain. “Gerakan mahasiswa hanya mementingkan eksistensi,“ ungkapnya. Menurutnya tidak ada gerakan masif disebabkan fragmentasi kepentingan kelompok.
Banyak membaca Sementara itu, Budiman Sudjatmiko, bekas pentolan Partai Rakyat Demokratik, memandang gerakan mahasiswa sibuk dengan isu-isu jangka pendek. “Hal tersebut penting, tapi perlu dikembangkan untuk mengubah sistem yang lebih besar,“ kata dia.
Solusi menyatukan gerakan mahasiswa dilontarkan Reza melalui aktivisme lewat tulisan.
Pertanyaannya, menurut dia, “Apa yang kita bisa berikan? (Bukan kita dapatkan).“
Solusi ini juga sejalan dengan karakter gerakan mahasiswa, yang menurut Syamsul adalah gerakan moral dan intelektual. Jadi, gerakan yang mengandalkan otot saja pantas dienyahkan.
Budiman berpendapat, “Kebanyakan (gerakan) mahasiswa modal baca koran.“ Mahasiswa menjadi konsumen dan pusat kajian media massa. Akibatnya, seperti diduga Syamsul, gerakan preman bayaran menguat.
Mahasiswa, tambah Indra, kini kerap melancarkan tuntutan dengan tidak elegan. Sarannya, mahasiswa harus banyak membaca.
“Mahasiswa harus pandai berargumen dan mengusung program tandingan,“ tuturnya.
Ia khawatir buku-buku gubahan Pramoedya Ananta Toer dan Karl Marx, yang dilarang di masa lampau malah, tidak dibaca di era sekarang. Budiman berpesan serupa. “Bukan saja membaca buku, tapi lingkungan. Setelah membaca, lalu menuliskannya minimal lima halaman,“ tutur Budiman. Kalau perlu, tulislah sebuah buku. Setelah itu, debatkan dengan kawan dan lawan.
Mahasiswa, menurut Budiman, harus menjadi pemimpin, menghegemoni masyarakat, dan memberikan teladan. Gerakan mahasiswa harus merumuskan tuntutan zaman. Tak luput, bersatu untuk urusan prinsipiel, mengenyahkan perbedaan-perbedaan sepele. Gerakan mahasiswa dapat menjadi semacam cahaya di ujung terowongan, seperti yang disinggung di muka, jadilah lilin, atau jadilah cermin. Gerakan mahasiswa dituntut menjawab tantangan ini. Jadi, bersatulah kaum mahasiswa! (M-4)