MENGGUGAT PRAGMATISME MEDEDIKASIKAN DIRI

Posted in Senin, 29 Maret 2010
by KAWAN WIDYATAMA

oleh Suguh Kurniawan

PRAGMATISME mahasiswa berada pada titik nadir. Kampus menjadi Pulau Elba yang asing, yang fungsinya sebatas melaksanakan knowlegde transfer tanpa social value. Karenanya, insan pendidikan tinggi terjebak dalam pandangan sempit. Kuliah dimaknai tak lebih dari balapan lari. Mereka berlomba untuk menjadi nomor satu secara akademik kemudian bekerja di tempat nyaman dan terjamin. Hal bertendensi egosentris ini telah menjadikan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi pincang, setelah mahasiswa hanya menderas pendidikan dan penelitian tanpa dibarengi pengabdian.

Meski begitu, ketika kampus terlempar menuju posisi under dog secara sosial dan kesenjangan antara insan perguruan tinggi dan rakyat semakin lebar, ternyata ada harapan bagi kebangkitan gerakan kaum muda, yang bukan hanya sebatas asa, tapi memang benar-benar niscaya.

Adalah mereka, yang dalam istilah sosiolog Ignas Kleden disebut sebagai wonderkinder politik atau `anak-anak ajaib' dalam politik, muncul ke permukaan. Disebut demikian karena saat angka kemiskinan dalam data Biro Pusat Statistik 2009 membengkak mencapai angka 33,88 juta jiwa di negeri ini, dan saat rekan-rekan sebayanya cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, ada minoritas mahasiswa yang masih antusias menjalankan fungsi-fungsi sosial. Mereka bergabung dalam organisasi intrakampus seperti BEM, Senat, HIMA, dan UKM, atau organisasi ekstrakampus seperti ormas kepemudaan dan LSM.

Tentu ini memberikan sinyal positif.
Hanya pertanyaannya kemudian, fungsi sosial apa yang mesti dilakukan? Meminjam ungkapan novelis Edith Wharton, mahasiswa hendaklah menjadi lilin penyebar cahaya sekaligus menjadi cermin pemantul sinarnya. Artinya, mereka harus mendedikasikan diri pada lingkungan sesuai dengan kompetensi masing-masing. Terlepas dari warna bendera serta ideologi organisasi, mahasiswa secara sukarela turun ke lapangan untuk menciptakan ruang. Setelah itu, secara konsisten membina masyarakat hingga terbentuk tatanan sosial lebih cerdas dalam prespektif multidimensional.
Baik dari sisi pendidikan, kesejahteraan, sosial, politik, maupun budaya.

Sudah tentu mahasiswa memiliki cita-cita setelah lulus. Namun, semangat aktivisme yang terus terjaga hendaknya dapat mereduksi ego dan ambisi pribadi. Hal tersebut tidak akan membuat cita-cita itu luntur, tapi justru menjadikannya makin istimewa. Karena dengan kapasitas dan kapabilitas ilmu yang lebih mumpuni, mereka bisa bersinergi dengan masyarakat guna meraih kesejahteraan bersama.

Tidak semata hal itu dilakukan untuk mendapat label pahlawan.
Jauh-jauh hari mahasiswa mesti sadar kalau mereka bukanlah superman yang merasa bisa melakukan segala hal. Tapi hanya pribadi-pribadi yang sadar atas esensi human to all human atau manusia bagi semua manusia-seperti diungkapkan Nietzsche. Karenanya, sinergi masyarakat kampus dan rakyat dapat terbangun kembali seperti diharapkan selama ini, dan kepincangan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat ditegakkan kembali. (M-4)