Pemimpin Tanpa Huruf N

Posted in Sabtu, 18 September 2010
by KAWAN WIDYATAMA

Harian Seputar Indonesia, 29 May 2010

Pemimpin Tanpa Huruf N
Oleh Dhiora Bintang
Koordinator Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Universitas Widyatama

SERI GERAKAN MAHASISWA II

“Sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya” ungkap Ben Anderson. Indonesianis asal Australia ini tak asal bicara. Tonggak kebangkitan nasional berturut-turut di inisiasi pemuda : Budi Oetomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi (baca : peristiwa rengasdengklok). Tuntutan sebagai tumpuan bangsa menghantarkan pemuda untuk memberi tuntunan. Bak bandul yang bergerak dinamis, laju nasib bangsa ditentukan oleh pemuda, apakah bergerak ke kiri, kanan, atau statis. Bila pemuda menjadi generasi penting dari bagian masyarakat, maka mahasiswa merupakan kelompok penting dari pemuda itu sendiri. Bagaiamana rupa-rupanya wajah pemuda (mahasiswa) sekarang?

Kebangkitan sebuah nation diikat oleh sebuah mimpi. American dream misalnya menggambarkan kebebasan dan kemakmuran. Lantas, apa Indonesian dream? Apakah menjadi masyarakat feodal, hipokrit, dan malas seperti yang dikemukakan Mochtar Lubis. Tanpa peran pemuda visi Indonesia hanya sebatas ilusi Indonesia. Imajinasi pemuda tentang Indonesia akan membentuk wajah Indonesia kedepan. “I have a dream” kata Martin Luther King jr. Jika mimpi itu diterjemahkan ke dalam bahasa tawuran, narkoba, hingga seks bebas. Mustahil menatap Indonesia baru. Kebangkitan nasional akan terjerembab jatuh menuju kebangkrutan nasional.

Mencermati laku langgam pemuda sekarang seolah menepis tesis Ben Anderson diatas. Pemuda bukannya “part of solution” (bagian solusi) justru menjadi “part of problem” (bagian masalah). Pemuda menyumbang pundi-pundi keruwetan nasional. Tidak nampak peran pemuda yang digambarkan sebagai kaum intelektual. Mimpi-mimpi pemuda terkubur dalam kubangan tawuran, narkoba, hingga seks bebas. Peradaban kita lumpuh karena pemuda berperangai berkebalikan dari yang diucapkan Sigmund Freud “Peradaban dimulai ketika seorang yang marah, melontarkan kata-kata daripada melempar batu”. Seolah memakai kekerasan akan menyelesaikan segala masalah. Pemuda kita rupa-rupanya senang menerapkan – meminjam istilah Jakob Oetama talking democracy ketimbang working democracy. Maka tak ayal setiap tahun kebangkitan nasional menjadi seremoni tanpa substansi.

Para pemuda seolah berada dalam zona nyaman. Enggan bertindak apalagi risk taker. Romantisme sejarah bertindak heroik seperti reformasi 98 tidaklah akan selalu terulang. Zaman akan melahirkan anak zamannya. Pemuda harus mampu merumuskan tuntutan era sekarang. Beban yang dipikul ini harus dilihat sebagai tanggung jawab pemuda yang menjadi the happy selected few. Indonesia bukanlah failed state (negara gagal), tapi bukan tak mungkin terjadi bila pemudanya gagal mewujudkan mimpinya. Makanya, tak berlebihan kalau kini pemuda disematkan gelar : pemimpin tanpa huruf n (baca : pemimpi).

Pemuda mesti kembali menghegomoni masyarakat dalam artian positif. Seperti sebuah ungkapan, ada setitik cahaya di ujung kegelapan. Pemuda harus tampil menjadi pemimpin dalam panggung Indonesia. Panggung Indonesia yang luas ini absen dalam merawat harapan. Pemuda harus perform di setiap lini kehidupan : sosial, politik, budaya. Pemuda harus menggapai (kalau perlu merebut) estafet kepemimpinan yang mulai usang. Lebih baik menyalakan cahaya daripada mencaci kegelapan, itulah yang harus kita mulai.