Politik Narsisme di Facebook

Posted in Senin, 07 September 2009
by KAWAN WIDYATAMA



Oleh Dhira Bintang
Diterbitkan media indonesia edisi minggu


Pentas politik kita disuguhi narsisme politik. Para politisi beramai-rami menggunakan Facebook untuk ‘menjual’ dirinya. 1,4 Juta pengguna Facebook di Indonesia menjadi target rayuan politisi. Tapi masyarakat tidak bodoh. Pertunjukkan “say no to mega” di facebook beberapa waktu lalu menjadi bumerang bagi politisi. Ribuan pengguna Facebook berbondong-bondong mendukung group itu. Politisi harus lebih cerdas, tanggap, dan responsif dalam berkampanye di Facebook. Tidak hanya menjual narsisme politik, tapi harus ada pendidikan politik. Pendidikan politik itu menjual gagasan visoner, visi misi terukur, dan implementasi janji jika terpilih. Jangan harap masyarakat memilih politisi yang ‘asal-asalan’ berkampanye di Facebook.

Pengguna Facebook di indonesia terbesar di Asia, dan ke 5 di Dunia. Angka yang fantastis. Komunikasi politik yang dilakukan Barrack Obama lewat facebook belum bisa menginspirasi politisi kita. Jangan hanya menjual diri lewat baliho, iklan, dan spanduk. Ada media yang murah dan efisien, yaitu Facebook! Tidak hanya mendapat dukungan suara, tapi bisa meraih dukungan dana. Hanya saja politisi kita masih menjual narsisme politik di Facebook. Masyarakat enggan memilih politisi yang menjadi ‘gagu’ dan ‘tuli’ saat menjadi pemimpin. Tapi, menjadi aktif dan komunikatif saat pemilu.

Kesalahan yang dilakukan dalam pemilu legislatif bisa diperbaiki dalam pemilu presiden. 1,4 juta pengguna facebook di Indonesia bukanlah angka yang sedikit. Politisi di Indonesia jangan alergi dengan teknologi. Kampanye melalui facebook bisa menjadi media alternatif, ditengah mandetnya pendidikan politik. Kampanye lewat facebook juga jauh lebih efisien dibandingkan kampanye terbuka dan ‘pentas dangdut’.

Politisi bisa menggunakan aplikasi-aplikasi yang komunikatif di Facebook. Chatting, update status, dan tagging adalah sederet aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh politisi. Kampanye di facebook bisa menampilkan wajah politik yang komunikatif dan tanpa birokrasi. Politisi yang gagap teknologi akan merugi besar dalam pertarungan perebutan suara ini.

Era demokrasi visual ini harus diimbangi dengan demokrasi subtansial. Tidak hanya mengajak, “pilih saya”, tetapi, “kritisi saya”. Pengemasan iklan yang cantik terkadang tidak sepadan dengan kualitas diri. Facebook politik jangan hanya menjual ajakan memilih, tetapi ajakan untuk mengkritisi. Perilaku kampanye politisi di Facebook harus mengubah pola pikir. Jangan sampai politisi (dunia) maya ini menjadi benar-benar ‘maya’ di kehidupan masyarakat.