MENGUJI KEBERANIAN MAHASISWA BARU

Posted in Kamis, 08 Oktober 2009
by KAWAN WIDYATAMA




Oleh Dhiora Bintang


"Barang siapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati”
Pramoedya Ananta Toer

Pentas ospek akan dimulai. Pertunjukan superioritas sang senior kepada yunior akan segera tampil. Ini tentang ritual pengenalan kampus yang sarat dengan pelecehan nilai kemanusiaan. Pengkhianatan terhadap penderitaan masyarakat yang mengalami kemiskinan akut. Intelektual abal-abal kini beralih profesi menjadi pelacur intelektual. Menjual sisa-sisa idealisme yang masih ada, dan menggadaikannya dengan kepentingan. Praktek pembiaran kekerasan fisik dan verbal dalam ospek adalah wujud dari keengganan intelektual untuk bertindak juga berpihak kepada kebenaran.

Monopoli Kebenaran
Kebenaran bukan monopoli kekuasaan, juga kebohongan bukan kuasa kaum pinggiran. Bila selama ini mahasiswa baru dicekoki pernyataan-pernyataan yang kadang tidak sesuai kenyataan, kini kawan-kawan harus mencari fakta akurat. Misalnya mitos mengenai kesaktian sertifikat ospek: dipakai sidang kelulusan, syarat UKM, dst. Rektor menegaskan tidak ada kisah sidang kelulusan dengan sertifikat ospek. Juga tidak semua UKM meminta sertifikat ospek sebagai syarat, bahkan di senat-senat tertentu anggotanya tidak memiliki sertifikat.

Proses pengenalan kampus pada tanggal 9-10 patut dicurigai. Kenapa tidak sekaligus dengan proses pengenalan akademik? Bukankah kawan-kawan sudah mulai mengenal ruang-ruang kelas atau fasilitas kampus lainnya? Pamflet bernada ‘ambil postifnya, jangan cuma negatifnya’, membenarkan bahwa ospek memiliki aspek negatif. Lantas, kenapa tidak dihilangkan? tinggal pilihan kawan-kawan yang menentukan, akankah menjalani kegiatan yang diakui secara tidak langsung negatif.

SK Dikti No 38/Dikti/2000 menegaskan kegiatan ospek lebih ditekankan kepada kegiatan akademis. Bandingkan dengan sekarang, berapa banyak proses pengenalan akademik dibandingkan proses pengenalan kampus? Ditambah SE Dikti No 5/1995 yang menyatakan gamblang melarang praktik perpeloncoan. Lengkap sudah alasan kita untuk melawan praktek pembodohan.

Melawan Ketakutan
Keberanian adalah serigala dan pengecut adalah mangsa. Jangan biarkan rasa takut membuat kawan-kawan menjadi seorang pengecut. Munir berujar, “ketakutan seringkali mengalahkan rasionalitas”. Rasionalitas kita sebagai mahasiswa dipertaruhkan ketika melihat praktek pembodohan. Kita harus melawan tindakan penyesatan informasi yang terjadi. Tunjukkan bahwa mahasiswa masih mempunyai sikap sebagai seorang intelektual yang bertindak berlandaskan nilai kemanusiaan.

Mahasiswa tidak pantas melucuti label kaum intelektual yang disandangnya. Berpura-pura gagu dan tuli akan keadaan sekitar. Menjadi generasi pembebek yang selalu berkata “yes man!”. Menjadi intelektual yang menghamba kekuasaan dan dikuasai ketakutan. Sehingga membenarkan kenyataan, bukan menyatakan kebenaran. Tabik!